Sabtu, 27 Juli 2024

Tafsir Al-Qur'ân dalam Perspektif Perempuan

Baca Juga

Secara definitif para ahli tafsir pada umumnya menyebut al-Qur’ân sebagai: “Kalâmullâh (kata-kata Allah) yang diturunkan melalui Malaikat Jibrîl kepada Nabi Muhammad Saw, yang disampaikan kepada kita melalui rangkaian yang terpercaya (mutawâtir), tertulis dalam mush-haf. Membacanya dinilai sebagai ibadah (berpahala). Al-Qur’ân juga sebuah mu’jizat, yakni sesuatu yang luar biasa,di luar kemampuan manusia dan bahasanya tidak bisa ditandingi (i’jâz)” (Baca : al Qur’an: Q.S. al Baqarah [2] :23). Adalah keyakinan kaum muslimin bahwa al-Qur’ân adalah wahyu Allah, kitab suci dan sumber paling utama dan otoritatif bagi aktifitas kehidupan sehari-hari. Di dalamnya terkandung seluruh aspek yang dibutuhkan bagi kehidupan kaum muslimin yang akan mengantarkannya pada kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Al-Qur’ân sendiri menyatakan diri sebagai kitab yang menjelaskan segala hal (tibyân li kulli syai’). (Baca: Q.S. al An’am, 6: 38, al Nahl, 16: 89).

Tetapi pernyataan al-Qur’ân ini segera harus dipahami secara kritis. Menjelaskan segala hal tidak berarti bahwa al-Qur’ân menjelaskan detail-detail masalah kehidupan, sebab dalam kenyataannya memang tidak demikian. Al-Qur’ân sebagai kitab yang abadi tidak mungkin menjelaskan secara rinci persoalan-persoalan kehidupan yang berkembang dan berubah secara terus menerus sampai dunia berakhir. Al-Qur’ân menjelaskan semua hal hanyalah berarti kitab suci ini mengemukakan prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai moral dan ketentuan-ketentuan umum. Sebagian besar menyampaikan kisah-kisah atau sejarah kehidupan masyarakat sebelumnya. Ini semua dimaksudkan sebagai pelajaran, contoh, bahan pemikiran (‘ibrah) bagi manusia. Ayat-ayat yang terkait dengan persoalan-persoalan hukum, menurut Imam al-Ghazali, hanya dijelaskan dalam 500 ayat. Sementara persoalan-persoalan dan kasus kasus hukum tentu saja jutaan bahkan tak terhitung. Imam Haramain mengatakan bahwa ayat-ayat hukum dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan bagaikan satu ciduk air di antara air lautan. Di sinilah maka penjelasan secara detail pertama-tama dilakukan oleh hadits Nabi Muhammad saw yang biasa disebut as-Sunnah (tradisi Nabi). Al Qur’an sendiri menyatakan fungsi Nabi ini. “Dan Kami menurunkan kepada engkau (Muhammad) al Qur’an agar engkau menjelaskannya kepada mereka”.(Q.S. al Nahl, 16 :44). Teks-teks Sunnah (hadits) juga terbatas jumlahnya. Sesudah Nabi wafat, teks-teks suci ini selanjutnya dipahami oleh kaum muslimin. Ini yang kemudian dikenal dengan sebutan ijtihâd. Dalam keyakinan kaum muslimin pula, al-Qur’ân merupakan kitab suci yang tidak mungkin mengandung kontradiksi-kontradisksi antara satu teks dengan teks yang lain, karena ia merupakan kata-kata Tuhan yang Maha Benar. (QS. an-Nisâ, 4:82). “Tidak ada yang salah (batal) di dalamnya, semuanya diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji”.(QS. Fusshilat, [41]: 42). Al-Qur’ân adalah firman Tuhan yang terakhir dan dibawa oleh Nabi yang terakhir pula, dan karena itu berlaku untuk masa yang panjang, abadi dan untuk seluruh umat manusia.


Sumber: KH Husein Muhammad 2007 “Tafsir Al-Qur’ân dalam Perspektif Perempuan”, di KH. Husein Muhammad, Faqihuddin Abdul Kodir, Lies Marcoes Natsir dan Marzuki Wahid, Dawrah Fiqh Concerning Women – Modul Kursus Islam dan Gender, Fahmina Institute, Cirebon, 2007.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya