“Pendidikan kedisiplinan siswa dengan kekerasan justru akan mempengaruhi mental siswa, sehingga dapat mengganggu kenyaman kegiatan belajar yang berlangsung di sekolah. Pendidikan menjadi mekanis dan bersifat dehumanisasi. Karena anak diperlakukan keras.”
Musim ujian akhir sudah selesai, kini saatnya musim pendaftaran siswa baru berlangsung. Orang tua akan sibuk untuk mengurus anak yang akan melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Mulai dari mencari atau menemani dan memilih sekolah yang dianggap tepat bagi buah hatinya. Namun orang tua perlu kiranya selektif memilih sekolah, karena mempercayakan anak ke sekolah yang belum jelas manajemen, system pendisiplinan siswa akan berakibat pada tidak tercapainya harapan orang tua. Alih-alih menjebloskan anak pada system pendisiplinan dengan pendekatan kekerasan yang terus-menerus.
Budaya kekerasan terhadap siswa baik secara fisik maupun kekerasan secara psikologis “mental” adalah budaya yang menyimpang di dunia pendidikan. Perlunya guru dan elemen sekolah yang mempunyai SDM yang tinggi harus di lakukan untuk membangun kesadaran ini. Menurut UNESCO hukuman fisik dalam bentuk apapun di sekolah dilarang.
Tindakan yang melecehkan dan merendahkan apalagi kekerasan adalah melanggar hak dasar anak, karena anak patut dihargai integritas fisiknya dan kehormatannya, seperti dicanangkan dalam Deklarasi hak asasi manusia. Penerapan hukuman fisik menyebabkan kesehatan mental terganggu, termasuk diantaranya depresi, tidak bahagia, cemas, perasaan hampa dalam diri siswa. Hukuman fisik juga, selain bertentangan dengan hak asasi manusia, hukuman fisik dan hukuman merendahkan juga kadang-kadang masih dilegalisasi dan masih diterima oleh mayarakat tertentu.
Status siswa yang tidak mempunyai kekuatan, menyebabkan penerapan larangan hukuman fisik dan hukuman yang merendahkan di sekolah belum sepenuhnya dapat direalisasikan. Selain itu berdasarkan bukti-bukti medis dan psikologis, hukuman fisik dan hukuman yang merendahkan menyebabkan anak beresiko mengalami fisik yang terganggu, kesehatan mental yang terganggu, hubungan interpersonal yang tidak sehat, internalisasi nilai-nilai moral yang lemah, prilaku anti sosial, kemampuan beradaptasi yang terganggu.
Semua kekerasan yang terjadi baik dari guru ke murid atau siswa ke siswa terjadi karena faktor-faktor tertentu, adanya kekolotan pemikiran, dimana murid harus benar-benar tunduk kepada guru sudah tidak tepat lagi diterapkan. Penerapan kebebasan terhadap murid untuk berekspresi dalam batas wajar, patut dikembangkan. Menghilangkan kebiasaan balas dendam yang sering dilakukan saat MOS dan OSPEK oleh senior ke junior, juga harus dihilangkan di dunia pendidikan. Ini sangatlah menyimpang dari tujuan pendidikan yang sebenarnya. Adanya ketidaksinkronan antara elemen-elemen institusi dan managemen institusi tersebut dapat mengakibatkan hal-hal yang diluar pencapaian iklim pendidikan yang kondusif.
Oleh karena itu, segala bentuk kekerasan di dalam sekolah atas nama kedisiplinan harus ditinggalkan. Maka pengawasan dari pihak terkait seperti pihak sekolah, dinas pendidikan, organisasi intern dan masyarakat sangat di perlukan. Siswa memang perlu belajar untuk disiplin terutama disiplin diri. Akan tetapi untuk mengajarkan disiplin, bukan dengan cara memberikan hukuman fisik dan hukuman merendahkan, karena hukuman ini terbukti tidak efektif untuk menegakkan disiplin. Sebaiknya guru memberitahu dan menjelaskan kepada siswa kesalahan apa yang telah mereka lakukan, bukan dengan cara memberi hukuman fisik atau hukuman merendahkan.
Dari uraian di atas jelas terjadinya kekerasan dalam penegakan disiplin di sekolah harus dihindarkan, karena pendidikan kedisiplinan dengan menggunakan kekerasan ini tidak akan menciptapan suatu iklim sekolah yang kondusif, aman dan nyaman. Pendidikan kedisiplinan siswa dengan kekerasan justru akan mempengaruhi mental siswa, sehingga dapat mengganggu kenyaman kegiatan belajar yang berlangsung di sekolah. Pendidikan menjadi mekanis dan bersifat dehumanisasi. Karena anak diperlakukan keras.
Refleksinya akan memperlakukan orang lain dengan cara-cara kekerasan. Di sisi lain, pengelola sekolah dan guru menganggap sebagai subyek, sentral, mayor, dan dominan sementara siswa adalah obyek sekunder dalam penguasaannya.
Banyak guru menganggap kekerasan adalah bagian dari proses pendidikan. Berdasarkan UU Nomer 23 Tahun 2002, kekerasan terhadap anak adalah pelanggaran serius. Sedang pada pasal 54, anak di dalam dan lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru. Pengelola sekolah atau teman-teman di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya. Dalam pasal 80 pelaku diancam melakukan kekerasan kepada anak. Dan apabila sampai meninggal diancam hukuman maksimal 10 tahun dan denda uang paling banyak 200 juta
Oleh karena itu, menciptakan kondisi lingkungan fisik sekolah yang aman, menjadi prasyarat penegakan kedisiplinan siswa. Tetapi kondisi ini, pendidikan kedisiplinan siswa dilakukan secara bijak tanpa menggunakan unsur-unsur kekerasan. Disiplin adalah pengembangan mekanisme internal dari siswa sehingga siswa mampu mengendalikan diri.
Sayangnya disiplin di sekolah sering didefinisikan dengan prosedur yang terfokus pada konsekuensi pemberian hukuman. Perspektif disiplin secara tradisional ini kurang sempurna, sebab tidak memperhatikan perkembangan dan tidak mendukung prilaku pro-sosial yang ditunjukkan siswa. Riset menunjukkan bahwa memberikan hukuman saja tidak cukup untuk menekan prilaku menyimpang dan mengembangkan prilaku pro-sosial siswa. Dengan demikian definisi disiplin menurut paradigma baru adalah langkah-langkah atau upaya yang perlu guru, kepala sekolah orang tua dan siswa ikuti untuk mengembangkan keberhasilan prilaku siswa secara akademik, maupun sosial. Jadi disiplin dianggap sebagai alat untuk untuk menuju keberhasilan untuk semua guru, dan semua siswa di berbagai situasi.
Melakukan pendekatan-pendekatan semua elemen sekolah tentang arti pentingnya kedisiplinan tanpa menggunakan hukuman yang sifatnya tidak mendidik, tetapi lebih difokuskan pada pendekatan psikologis siswa, dan penanaman kesadaran disiplin, jadi bukan secara paksaan atau hukuman, tetapi peraturan kedisiplinan sekolah tetap dilakukan dan di terapkan, tetapi pelaksanaan secara pendekatan tanpa kekerasan.
Peran bimbingan konseling sangat penting dalam pelaksanaan ini, bimbingan konseling secara rutin melakukan pendekatan terhadap siswa tentang masalah-masalah yang dihadapi siswa sehingga siswa bisa melakukan hal-hal yang tidak disiplin, seperti sering terlambat, melanggar aturan sekolah, dan pelanggaran pelanggaran disiplin lainnya bisa terekam dan terselesaikan dengan baik tanpa hukuman kekerasan.
Ditulis oleh:
Rosidin
Direktur Fahmina Institute