Munculnya kasus radikalisasi dalam buku mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Budi Pekerti tingkat SMA beberapa bulan lalu, menjadi pertanda bahwa radikalisasi di negeri ini begitu mewabah dan sistematis. Pendidikan sebagai dimensi paling penting dalam kehidupan tak luput dari radikalisasi. Padahal pendidikan bertaut erat dengan para pelajar sebagai regenerasi bangsa. Radikalisasi dalam kasus ini berbentuk materi ajar dengan nuansa kebencian dan kekerasan.
Survei Setara Institute belum lama ini menyatakan sebuah fakta yang mengejutkan, 1 dari 14 siswa di Jakarta dan Bandung setuju atas keberadaan Negara Islam. Senada dengan itu, riset MAARIF Institute pada 2011 tentang pemetaan problem radikalisme di SMU Negeri di empat daerah (Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta dan Solo), yang mengambil data dari 50 sekolah, juga membuahkan hasil yang sama tentang pemahaman para pelajar yang rigid dan radikal.
Sekolah menjadi ruang yang terbuka bagi diseminasi paham apa saja. Karena pihak sekolah terlalu terbuka, kelompok radikalisme keagamaan memanfaatkan ruang terbuka ini untuk masuk secara aktif mengkampanyekan pahamnya dan memperluas jaringannya. Kelompok-kelompok keagamaan yang masuk mulai dari yang ekstrem menghujat terhadap negara dan ajakan untuk mendirikan negara Islam, hingga kelompok islamis yang ingin memperjuangkan penegakan syariat Islam (Jurnal Maarif, Vol. 8. No. 1, Juli 2013).
Di sini kiranya kita perlu kembali memahami Islam. Agama Islam adalah memang agama dakwah. Agama yang menuntun umatnya (Muslim) untuk bisa mengajak kebaikan kepada umat manusia di semesta alam. Begitulah tugas Nabi Muhammad pasca dilantik oleh Allah menjadi utusan-Nya (Rasulullah). Sebagai Rasul, Muhammad Saw diberi wahyu bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk orang lain, umatnya di dunia.
Yang terpuji dari dakwah Islam Muhammad Saw adalah ketika beliau konsisten mendakwahkan Islam dengan kasih sayang. Akhlak dan dakwah terpuji ini sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an; “Dan tidaklah Kami (Allah) mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk semesta alam” (QS. Al-Anbiya [21]: 107). Tersurat jelas bahwa Muhammad Saw adalah utusan Allah untuk semua umat manusia, bukan untuk Muslim saja.
Wawasan Islam Rahmatan Lil’alamin
Konsistensi dakwah Muhammad Saw diuji oleh Allah dengan berbagai macam penolakan dan kejahatan. Ketika Islam baru saja ‘turun’, Nabi Muhammad Saw berdakwah dengan sembunyi-sembunyi, kepada keluarga terdekat, sampai akhirnya berdakwah secara terang-terangan untuk masyarakat luas. Ia sampai ikhlas ketika dirinya diludahi, dilempari batu, dihina, dicaci, dan diperlakukan keras lainnya. Subhanallah, Nabi Muhammad Saw malah membalas segala keburukan itu dengan kebaikan.
Oleh karena itu, fenomena syiar kebencian (hate spech) dalam bentuk apapun tidak boleh dilestarikan. Apalagi radikalisasi itu terjadi dalam ranah pendidikan. Secepatnya segera dihentikan dan ditarik dari peredaran. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas-dinas Pendidikan di provinsi dan kota/kabupaten juga harus segera bertindak, ini tidak lain adalah untuk upaya deradikalisme pemahaman agama.
Kalau ditelusuri secara mendalam, apa yang dilakukan Muhammad Saw dalam menyebarkan Islam adalah aktualisasi dakwah merangkul, bukan dakwah memukul. Islam tidak menolelir segala bentuk tindak kekerasan. Oleh karena itu, sungguh amat disayangkan, jika akhir-akhir ini, di negeri kita sendiri, masih marak tindak kekerasan yang mengatasnamakan Islam.
Di sinilah kiranya kita memaknai dan merenungkan kembali apa itu makna dakwah dalam Islam. Al-Qur’an menyebut Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, agama yang (harus) menebar kasih sayang (bukan kekerasan dan pemaksaan) kepada semesta alam, kepada seluruh umat manusia di seluruh dunia. Kebalikan dari rahmatan lil’alamin adalah laknatan lil’alamin (kutukan bagi semesta alam). Dengan begitu kita akan mudah mengidentifikasi mana dakwah yang penuh dengan kasih sayang dan mana yang penuh dengan kebencian (kutukan).
Islam harus menjadi agama yang bisa membuat umat manusia merasa nyaman dan tenang. Tidak membuat gaduh, menghasud, dan apalagi memfitnah. Sepenuhnya kita yakin jika Islam itu agama yang sempurna, tetapi masalahnya tidak selamanya demikian dengan umatnya (Muslim). Tidak ada Muslim yang sempurna. Kita semua punya kelamahan dan kelebihan masing-masing. Kita tidak diperkenankan merendahkan, mengejek, dan menganggap hina umat agama dan kepercayaan lain. Kita, umat Muslim, harus menjadi pelopor sikap toleran, untuk saling menghargai.
Lebih daripada itu, kita adalah warga negara Indonesia. Bangsa yang dianugerahi Allah dengan banyak keberagaman. Karena itu, pada dasarnya kita semua bersaudara. Tak ada penghalang untuk menjalin ukhuwah (persaudaraan) betapapun identitas kita berbeda satu sama lain. Pepatah bangsa kita menyatakan, Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tetapi tetap satu. Begitulah kiranya, kita perlu mengembangkan dakwah merangkul, bukan memukul. Kita rangkul saudara-saudara kita kepada kebaikan.
Amar makruf nahi munkar secara sederhana dapat kita maknai sebagai tuntunan untuk menyeru kebaikan dan mencegah keburukan. Tuntunan ini bukan hanya ada dalam Islam, melainkan ada di seluruh ajaran agama dan kepercayaan yang lain. Bahkan, orang yang mengaku tidak punya agama pun, akan mengiyakan bahwa menyeru kebaikan dan mencegah keburukan itu adalah keharusan.
Dalam konteks Islam, kita perlu memaknai kembali apa itu tuntunan amar makruf nahi munkar. Bahwa ada yang lebih penting dari sekedar tuntunan itu yakni tentang cara untuk mendakwahkan tuntunan amar makruf nahi munkar. Sebab, dewasa ini ada sebagian Muslim yang sewenang-wenang beramar makruf nahi munkar tetapi dengan cara-cara yang tidak terpuji.
Maka seharusnya, beramar makruflah dengan cara yang makruf, bernahi munkarlah juga dengan cara yang makruf. Jangan sampai kemuliaan beramar makruf menimbulkan kemunkaran yang baru, yang lebih fatal. Sehingga pada akhirnya yang tercoreng adalah kemuliaan Islam. Kita harus kembali kepada makna Islam rahmatan lil’alamin, Islam yang mengasihi bukan mencederai.
Prinsip Pencerahan
Dalam rangka menegaskan dan memperkokoh Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, sedikitnya ada lima prinsip yang harus ditegakkan agar radikalisme, terutama dalam ranah pendidikan dan pelajar segera hengkang.
Pertama, ketauhidan (mengesakan Tuhan, tauhidullah). Kita harus memegang teguh prinsip ini, bahwa yang esa (satu) hanya Tuhan, Sang Pencipta. Sementara kita, makhluk ciptaan-Nya adalah beragam dan pasti berbeda-beda. Karena itulah keragaman (pluralitas) di dunia ini adalah sunnatullah, kehendak dan keniscayaan fitrah dari Tuhan. Dia menghendaki dunia ini beragam (pluralistik), tidak seragam (monolistik). “Sekiranya Allah berkenan tentulah Dia jadikan kamu satu umat, tapi maksud-Nya hendak menguji kamu dalam apa yang diberikan-Nya kepadamu. Karena itu berlomba-lombalah dalam kebaikan”, QS. al-Maidah [5]: 48.
Kedua, kemanusiaan (memuliakan manusia, al-Insaniyah). Dalam segala aspek agama dan keagamaan, Islam, mempunyai ajaran keseimbangan tentang relasi vertikal-individual (hablummin-Allah) dan relasi horizontal-sosial (hablumin-nas). Artinya, Tuhan memerintahkan kita untuk tunduk pada-Nya, tetapi juga tunduk pada kemanusiaan, yakni saling memuliakan antar sesama manusia. Jadi sikap saling memuliakan adalah salah satu manifestasi dari ajaran Tuhan. Karena Dia tak pernah membeda-bedakan manusia dengan apapun latar belakangnya; sosial, budaya, agama, gender, jenis kelamin, dan lainnya. “Sungguh, telah Kami muliakan bani Adam, dan kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan kami utamakan mereka melebihi sebagian besar makhluk yang Kami ciptakan.” (QS. Bani Israil [17]: 70).
Ketiga, kebebasan (membebaskan, al-Hurriyah). Ialah kebebasan etis. Kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Semua jenis manusia apapun latar belakangnya, punya kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya; dia harus beragama apa (atau tidak beragama sekalipun), berbuat apa, berpendapat apa, dan seterusnya, selama ia beragama, berbuat, dan berpendapat dalam kerangka kebebasan etis, tak boleh ada pihak yang melarang apalagi melakukan kekerasan dan perusakan. “Katakanlah: “Kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang ingin, hendaklah beriman dan barang siapa yang ingin, silakan mengingkari.” (QS. al-Kahfi [18]: 29).
Keempat, kesetaraan dan keadilan (al-Musawah wa al-‘Adalah). Semua makhluk (ciptaan Tuhan) memliki derajat yang sama. Kesetaraan dan keadilan mutlak ditegakkan tanpa tebang pilih. Semua jenis manusia apapun identitasnya—agama, jenis kelamin, orientasi seksual, dan lain sebagainya—di bawah naungan bangsa menjadi rakyat yang berkedudukan setara. Dengan kesetaraan maka keadilan akan terwujud. Saat kita saling mengakui dan saling memilikilah kesetaraan dan keadilan itu akan nyata terasa. “Sungguh, Allah memerintahkan kepadamu menyampaikan amanat kepada orang (yang berhak menerimanya), dan jika kamu menetapkan hukum antara manusia, hendaklah menghukum dengan adil.” (QS. an-Nisa’ [4]: 58).
Kelima, kasih sayang dan persaudaraan (al-Rahmah wa al-Ukhuwah). Jika kepada binatang dan tetumbuhan saja kita dianjurkan untuk menjaga dan melestarikan, apalagi kepada manusia, ciptaan Tuhan paling sempurna. Persaudaraan itu meliputi, persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah), persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan semuslim (ukhuwah Islamiyah). Urutannya jelas, yang dikedepankan adalah persaudaraan sesama manusia dahulu, baru seterusnya. “Adalah karena kasih sayang Allah maka kamu (Muhammad) berlaku lemah-lembut terhadap mereka, sekiranya kau kejam dan berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari lingkunganmu. Maka maafkanlah mereka dan mohonlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam (segala) urusan.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 159).
KBNU Merangkul Pelajar
Adalah Keluarga Besar Nahdlatul Ulama (KBNU) sebagai wadah besar umat Muslim Indonesia yang berkomitmen untuk menebarkan Islam yang ramah dan terus mengepung radikalisme di berbagai sudut. KBNU sendiri bukanlah organisasi struktural di bawah naungan PBNU, ia hanya wadah yang timbul dari inisiatif untuk menjaring kepedulian akan keberadaan pelajar, menjaga mereka agar tidak terkena virus radikalisme.
KBNU menjadi rumah bersama nahdliyin struktural maupun kultural. Di dalamnya, tak ada sekat, tak ada pimpinan dan bawahan. Semuanya menjadi saudara se-nahdliyin yang punya kepedulian besar terhadap pelajar, mahasiswa, remaja dan pemuda dari jeratan radikalisme.
Dalam konteks Cirebon, KBNU terus berupaya memberikan pencerahan kepada masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk upaya mengepung radikalisme di kalangan pelajar dan mahasiswa (remaja dan pemuda) sendiri, secara intens dan pro aktif melakukan berbagai kegiatan, mulai dari pemberian wawasan keaswajaan, toleransi antar umat beragama, dan berbagai kegiatan yang bernunasakan keberagaman.
Bagi KBNU, keberagaman bukanlah ancaman, tetapi justru angerah yang harus disyukuri dan disongsong agar membuahkan kebersatuan. Para kiai di pesantren yang berafiliasi dengan NU punya komitmen yang sama untuk terus menyemai Islam yang bernuansakan Indonesia.
Berbagai lembaga pendidikan di setiap tingkatan harus lebih berhati-hati. Beberapa hal dalam pendidikan yang paling menentukan, setidaknya kurikulum dan guru. Kurikulum memuat keseluruhan aktivitas pembelajar di lembaga pendidikan dan guru menjadi fasilitaor tersampainya kurikulum. KBNU akan terus memantau dan memastikan kalau kurikulum di lembaga pendidikan bersih dari potensi-potensi radikalisasi, termasuk kualitas dan kapasitas gurunya, yang tidak berafiliasi dengan kelompok Islam garis keras.
Seluruh lembaga pendidikan, di berbagai tingkatan, dari TK sampai PT wajib mengilhami nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Termasuk beberapa ritual di sekolah seperti pelaksanaan upacara bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya, harus dipastikan tetap melestari di sekolah. Wallahua’lam bis-Shawab.
*) Penulis adalah Khadim al-Ma’had di Pesantren Raudlatut Tholibin, Babakan, Ciwaringin