Selasa, 15 Oktober 2024

Halal bi halal: Tradisi Toleran Islam Indonesia

Baca Juga

Secara bahasa istilah halal bi halal sendiri seringkali menimbulkan tanda tanya, apa makna sesungguhnya?  Bahkan ada yang mempertanyakan kebenarannya dari segi bahasa. Meskipun semua pihak menyadari bahwa tujuan utamanya adalah mencipakan keharmonisan antara sesama.

“Dua orang Muslim yang bertemu lalu keduanya saling berjabat tangan, niscaya dosa keduanya diampuni oleh Allah sebelum mereka berpisah.” [HR. Abu Dawud]

Setiap 1 Syawal tiba, umat Islam menyambutnya dengan penuh suka cita. Hari ini, Allah swt menganugrahkan kepada mereka suka cita dan kesempatan untuk kembali pada kesucian serta fitrah.

Menurut KH. Musthafa Bisri (Gus Mus), terdapat dua syarat umat Islam mendapatkan predikat suci dari segala dosa. Yaitu mereka yang mendapat ampunan dari Allah swt karena melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dengan ikhlas serta meminta dan mendapatkan maaf atas segala kesalahan dari sesama manusia. Untuk mendapatkan predikat tersebut, biasanya sehabis shalat ‘Id umat Islam saling mengunjungi dan bersilaturahim satu sama lain untuk saling memaafkan. Maka tak heran saat menjelang Idul Fitri, berbagai undangan silaturahim, baik melalui surat, SMS, spanduk, informasi di surat kabar, dan media lainnya bermunculan. Tradisi ini dalam masyarakat (umat Islam) Indonesia kemudian dikenal dengan istilah halal bi halal. Dengan berhalal bi halal, umat Islam Indonesia berlomba untuk mendapatkan apa yang dijanjikan Allah swt.

Secara bahasa istilah halal bi halal sendiri seringkali menimbulkan tanda tanya, apa makna sesungguhnya?  Bahkan ada yang mempertanyakan kebenarannya dari segi bahasa. Meskipun semua pihak menyadari bahwa tujuan utamanya adalah mencipakan keharmonisan antara sesama.

Halal bi halal: Kreatifitas Muslim Indonesia

Meski sekilas halal bi halal adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab, namun dalam kenyataannya masyarakat Timur Tengah sendiri tidak menegnal istilah halal bi halal. Rizqan Khamami dalam menulis artikel “Halal bi halal dan Toleransi Beragama” mengatakan, meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, namun masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal bi halal yang merupakan hasil kreativitas bangsa Melayu, termasuk Indonesia. Halal bi halal, tidak lain, adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara.

Senada dengan Rizqan, KH. Musthafa Bisri (Gus Mus) mengatakan bahwa istilah halal bi halal dan pengertiannya memang khas Indonesia. Yaitu acara maaf-memaafkan pada hari lebaran. Tradisi maaf-memaafkan di saat lebaran, setelah puasa Ramadhan ini merupakan salah satu bukti kearifan para pendahulu kita.

Seperti dikemukakan Suliswiyadi dalam tulisannya “Tradisi Saling Memaafkan lewat Halal bi Halal (2004)”, secara konsep, istilah dan kegiatan halal bi halal ini tidak muncul dari Al-Qur’an dan Hadis. Jadi, secara tegas dalam Islam, halal bi halal ini tidak ada. Namun, Dosen salah satu universitas di Magelang ini menambahkan, jika dilihat dari isi dan tujuan kegiatannya, Al-Qur’an dan Hadis memang memberikan landasan untuk itu. “Kelahiran tradisi dan budaya ini tidak lepas dari unsur pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya. Inilah barangkali bukti rahmatan lil’alamin-nya Islam dalam memandang realitas sosial budaya.”

Keunikan dari tradisi halal bi halal dalam Idul Fitri di Indonesia ini, juga dikemukakan oleh Abdul Munir Mulkhan. Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini melihat halal bi halal sebagai ungkapan religiusitas (sikap kebergamaan) mayoritas warga negeri ini, yang berlangsung begitu saja.

Halal Bihalal; Cermin Tradisi Toleran Islam Indonesia

“Halal Bihalal”, meskipun secara lahiriyah tidak memiliki akar teologis, namun dari sisi maksud dan tujuan dari kegiatan ini beberapa ulama sepakat bahwa kegiatan ini dianjurkan dalam Islam. Untuk memperkuat pendapat ini, KH. Musthafa Bisri (Gus Mus) dalam artikelnya, halal bi hahal, mengutip sebuah hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah saw berpesan agar apabila diantara kita ada yang mempunyai kesalahan kepada seseorang, apakah menyangkut kehormatannya atau apa, hendaklah dimintakan halal sekarang juga sebelum uang dinar dan dirham tidak lagi ada gunanya; jika (tidak) bila dia mempunyai amal saleh, nanti akan diambil dari amalnya itu seukur kesalahannya dan bila tidak memiliki kebaikan, akan diambil dari dosa-dosa orang yang disalahinya dan dibebankan kepadanya “Man kaanat lahu mazhlumatun liahadin min ‘irdhihi au syai-in falyatahallalhu minhu alyauma qabla an laa yakuuna diinarun walaa dirhamun; in kaana lahu ‘amalun shaalihun ukhidza minhu biqadri mazhlumatihi, wain lam takun lahu hasanaatun ukhidza min sayyiaati shaahibihi fahumila ‘alaihi.” (HS Riwayat Imam Bukhari dari sahabat Abu Hurairah r.a)

Dengan demikian hadits ini mengisyaratkan kepada umat Islam bahwa saling memaafkan dan menghalalkan orang atau pihak yang pernah berbuat dzalim merupakan perbuatan mulia. Berangkat dari pemahaman ini tidak heran kalau di Indonesia tradisi halal bi halal menjadi kegiatan penting yang diagendakan berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Kegiatan ini dilakukan oleh keluarga besar tertentu, komunitas pemuda, alumni sekolah, karyawan swasta, pegawai departemen, partai politik, ormas, dan berbagai komunitas lainnya. Kegiatan halal bi halal sendiri dilakukan dengan berbagai bentuk, ada yang dengan membaca tahlil, ceramah agama dengan menghadirkan muballigh, organ tunggal, datang ke tempat wisata tertentu secara bersama-sama, diskusi, dan lain sebagainya.

Dengan demikian berangkat dari tradisi halal bi halal ini solidaritas dan toleransi antar golongan semakin terjalin dengan baik. Sebab dalam halal bi halal ini sebuah proses pembelajaran untuk mengakui kesalahan yang telah dilakukan, memaafkan kesalahan orang lain niscaya dilakukan. Sifat pemaaf diharapkan bisa tumbuh karena adanya ”kedewasaan rohaniah”. Ia merupakan hasil perjuangan berat ketika kita mengendalikan kekuatan ghadhab (marah) diantara dua kekuatan: pengecut dan pemberang. Sifat pemaaf menghias akhlak para nabi dan orang-orang saleh. Dimana rohani mereka (para Nabi dan orang-orang saleh) itu telah dipenuhi sifat Tuhan Yang Maha Pengampun. (Suliswiyadi, 2004).

Selain berisi ajakan untuk saling maaf-memaafkan, halal-bi halal juga dapat diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi melalui aktifitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan, bahwa setiap orang dituntut untuk tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali yang baik dan menyenangkan. Lebih luas lagi, berhalal-bihalal, semestinya tidak semata-mata dengan memaafkan yang biasanya hanya melalui lisan atau kartu ucapan selamat, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain.

Dan perintah untuk saling memaafkan dan berbuat baik kepada orang lain seharusnya tidak semata-mata dilakukan saat Lebaran. Akan tetapi, harus berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Halal bi halal yang merupakan cermin bahwa Islam di negara-negara seperti Indonesia sejak awal adalah agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan.

Oleh karena itu, harapannya ke depan, halal bi halal hendaknya dilakukan bukan hanya karena sekadar ikut-ikutan. Lebih dari itu, halal bi halal seharusnya menjadi tradisi (budaya) dan sarana untuk belajar mengakui kesalahan yang dilakukan dan belajar memaafkan kesalahan orang lain. Tentu tidak sebatas saat lebaran atau Idul Fitri saja. Tetapi juga dipraktekkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.


Penulis adalah alumni pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun, sekarang aktif di Fahmina Institute

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya