Saya kira, kita –siapa pun kita pada konteks maknanya yang diperluas dalam posisi sebagai pejabat negara, politisi, pengusaha atau apa pun– kesulitan untuk menjawab esensi pertanyaan tadi dengan baik. Bahkan ada berbagai pertanyaan serupa yang sama sekali kita tidak bisa memberi jawaban tepat. Seperti halnya pertanyaan berikut, apakah peran seniman memang senantiasa berada di luar hiruk-pikuk kebijakan negara? Apakah karya-karya seni tidak menjadi bagian signifikan dalam subsistem wacana kebudayaan suatu pemerintahan?
Seniman, terlebih pada mereka yang memilih genre seni tradisi lengkap dengan membawa khazanah lokal yang menjadi bagian substantif di dalamnya, tampak mengalami dilema di sana-sini dalam menghadapi perubahan zaman. Sejumlah seni tradisi yang merupakan “ikon” dan “akar” dalam konstruk budaya tradisional masyarakat, kita tahu, berada pada posisi marginal dan feriferal. Dan, ironisnya, justru seni-seni tradisi yang semula menjadi simbol dalam penyeimbang (equilibrium) seni-seni yang dinilai sebagai sentral (adiluhung).
Kematian yang Sunyi
Sujana Arja, atau akrab dipanggil Mang Jana, adalah maestro penari topeng yang Senin (10/4/2006) baru saja wafat dengan usia di atas 70 tahun. Suatu kematian yang sunyi yang menyisakan jejak panjang silsilah dari salah satu dinamika, stilistika, maupun estetika tari topeng Cirebon: bagaimana tari topeng “gaya Slangit” membentuk dirinya dan mempertahankan eksistensinya sekaligus. Bahkan dengan keteguhan seperti itu, ia tidak peduli apakah negaranya memberi perhatian terhadap salah satu warisan seni tradisi bangsanya atau tidak; apakah pemerintah daerahnya memahami atau tidak, bagaimana seharusnya menyusun grand strategy apa yang diklaim para birokrat sebagai “pelestarian” seni tradisi.
Sujana dengan kehidupan yang sangat sederhana mampu bertahan untuk tidak bergeser sedikit pun dari pengabdian hampir seluruh gerak dirinya pada khazanah seni tradisi tari topeng yang diwariskan keluarga besar maestro penari topeng Arja. Sejak 1973, Sujana berlatih, mengajarkan lima wanda tari topeng dan menempati sanggar tari Panji Asmara yang berada di pengujung utara desa Slangit yang kiri-kanannya masih berupa semak perdu, rumpun bambu, jalan setapak, dan hamparan sawah. Kecuali menari, ia tidak pernah memilih profesi selainnya, apalagi sekadar untuk menyelesaikan yang primer dan sekunder dalam kehidupannya selama ini.
Sujana telah melanjutkan proses regenerasi dan genealogi dari cikal-bakal tari topeng Cirebon. Bersama dengan beberapa tokoh tari topeng segenerasinya seperti, Sawitri (gaya Losari), Tarwi (Kreo), Sudji dan Dasih (gaya Palimanan) mengukuhkan tari topeng Cirebon dengan gaya masing-masing. Sehingga meninggalnya almarhum Sujana, menandai berakhirnya generasi kedua tari topeng Cirebon yang kini, mau tidak mau, diteruskan anak-cucu mereka. Tradisi tari topeng –seperti seni-seni tradisi lain, mungkin agak mirip dengan perguruan shaolin yang memiliki keniscayaan untuk melahirkan sejenis “pendekar” sebagai generasi penerus yang eksploratif, andal, kukuh, teguh dalam menerima seluruh estafet dari dalam pepakem seni tradisi tersebut.
Setidaknya, jika generasi tari topeng Slangit pasca-Sujana tidak segera menata berbagai instrumen dalam perjalanannya ke depan akan menghadapi tantangan budaya global yang mereduksi pandangan publiknya sedemian rupa. Dikhawatirkan tari topeng Cirebon yang tumbuh dengan latar serta beragam gaya yang bertolak dari eksplorasi maupun improvisasi tokohnya akan kehilangan generasi (lost generation). Sehingga beberapa gaya tari topeng Cirebon yang pernah tumbuh pada beberapa daerah dengan beragam gaya, sebut saja Kalianyar, Gegesik, Palimanan, Babakan, Kreo, dan Gujeg, tampak “ditinggalkan” generasi penerusnya.
Tari topeng “gaya Slangit” –diambil dari muasal nama desa tempat proses kreatif keluarga besar maestro tari topeng Arja (ayahanda dan pendahulu Sujana) sebagai Generasi Pertama– menjadi tonggak penting bagi sembilan anak-anaknya; Sutija, Suwarti, Suparta, Sujaya, Sujana, Rohmani, Roisi, Durman, dan Keni, yang semuanya berhasil menjadi penari topeng. Meski dari ke sembilan anaknya, Sujana yang kelak tampil dan dikenal publik luas sebagai seorang maestro.
Sujana memulai proses kreatifnya untuk menjadi maestro sejak berusia 10 tahun yang mengikuti bebarang (ngamen) bersama ayahnya. Kemudian atas prakarsa Pangeran Patih Ardja dari Kesultanan Kanoman, sekitar tahun 1940-an, keduanya tampil dalam berbagai perhelatan ritual tradisi di lingkungan keraton. Pada usia 17, Sujana dilepaskan secara mandiri untuk menerima tanggapan (order hajatan) dan melakukan bebarang hingga ke luar daerah (Indramayu, Majalengka Sumedang, Bandung, Garut, Cianjur, Banten) sebagai bagian dari proses manunggaling lelaku (menyatukan jiwa-raga dengan filosofi tari topeng dalam konteks kehidupan) –yang tidak dapat ditempuh melalui intellectual exercises dari wilayah dan norma-norma akademis.
Karena itu, kita yang pernah menyaksikan pementasan Sujana, Sawitri, Sudji, Dasih atau Mimi Rasinah –maestro penari topeng dari Pakandangan Indramayu– akan tampak kekuatan tarian yang melampaui fase-fase “batas nalar” dari kelincahan gerak penari yang memasuki usia uzur. Energitas dan kreativitas menyatu dengan spiritualitas ruh penciptaan. Begitu juga totalitas dan sinergitas menemukan ruang batin: di mana ekstase menyusun maknanya yang transenden dan tidak lagi samar-samar tersembunyi.
Hampir para maestro yang membuka ruang batinnya untuk selalu berada pada kosmos pergulatan kreatif akan memperlihatkan puncak dimensi penciptaan ruhani yang dahsyat dan menakjubkan. Dan, Mang Jana –dalam sebuah percakapan kecil dengan penulis, menolak persepsi yang semata mengacu pada asumsi akademis yang menilai pencapaian transenden dapat dimanipulasi melalui pemahaman sains, tanpa memasuki proses logosentrisme yang menjadikan seniman berada dalam fase pemahaman empirik-kognitif (ngangsu kaweruh).
Pribadi yang Tulus
Dalam kurun waktu cukup panjang dan berliku, Sujana Arja, empu tari topeng Slangit itu, telah menyiratkan dirinya menjadi pribadi yang tulus. Ia bukan saja berdiri sebagai seorang maestro, melainkan juga guru untuk banyak muridnya (dalam dan luar negeri) yang sungguh-sungguh telah mengabdikan serta mengabadikan kehidupannya pada seni tradisi. Meski, ia tahu, dengan sikap penuh-seluruh, terlebih lagi ia sadari tanpa jaminan hari tua dari mana pun –termasuk pemerintah– seorang seniman justru akan terus berada dalam suasana “mencipta”.
Saya masih teringat, ketika tahun 2000 Sujana Arja terpilih sebagai seniman pertama yang menerima Anugerah Seni DKC-Award. Terlihat sepasang matanya yang mulai tampak renta, berkaca-kaca. Dan yang menakjubkan, seusai menerima trofi perunggu berwarna kuning keemasan berlogo kepala paksinagaliman, tiba-tiba sang maestro menari topeng rumyang secara trance dengan tangan kirinya memegang trofi perunggu seberat 2,5 kg, berputar-putar seolah hendak menyatakan dirinya ke arah kerumunan penonton.
Malam itu, kami seperti menyaksikan sebuah momen pertunjukkan dengan kecanggihan gerakan tubuh memainkan kilasan improvisasi yang menghadirkan perpaduan dua sisi ekspresi yang menghantarkan unsur-unsur modernitas dalam teater dan seni tradisi yang patuh pada pepakem. Sebagaimana tarian rumyang yang melambangkan filosofi kehidupan manusia dengan paradoks dua karakter yang berseberangan: antara ganjen dan gagah, antara samba dan tumenggung yang dimainkan secara sempurna.
Setelah pertunjukan tari topeng usai, Sujana, dengan sikap seorang maestro, berjalan terbungkuk-bungkuk penuh kesantunan melewati kerumunan penonton yang masih menyisakan riuh kekaguman. Gerak tubuhnya yang gagah di panggung, seketika berubah menjadi sangat perlahan. Ia tetap seorang kakek yang rendah-hati. Dari raut wajahnya yang tulus itulah, kami belajar memahami keteladanan sikap seorang maestro yang teguh dan kukuh hingga akhir hayatnya.
Beberapa hari kemudian, kami bersilaturahim ke rumahnya –mungkin lebih tepat ke sanggarnya: Sanggar Panji Asmara di desa Slangit– Sujana sedang duduk termenung di kursi kayu dengan latar belakang gamelan yang mulai kusam, berbagai piagam penghargaan tanpa figura yang sengaja ditempel begitu saja di dinding, di antara bangunan sanggar yang masih belum sepenuhnya selesai tertata.
Dari situlah, kami tahu, Sujana terus gelisah dengan masa depan tari topeng Cirebon, juga seni tradisi lain, kini memasuki lorong panjang seni-budaya global yang bergemuruh dan mencengangkan. Maestro itu, dengan suara lirih bergumam, “Kulae nggereges ningali keadaan seniki. Pripun mengkine nasib seni tradisi kados tari topeng Slangit kuh?” (Saya sangat sedih melihat kondisi sekarang. Bagaimana nanti nasib seni tradisi seperti tari topeng itu?).
Selamat jalan Mang Jana, selamat jalan maestro. Percayalah, salah seorang anakmu yang juga murid setiamu, Inu Kertapati –bagaimanapun merupakan salah seorang penari topeng muda Cirebon yang sangat diperhitungkan– ia, seperti juga ayahnya, akan kukuh meneruskan silsilah keluarga besarmu sebagai penari topeng dan meneguhkan dirinya menjadi Generasi Ketiga keluarga maestro Arja.***
Penulis, penyair, “murid spiritual” maestro Sujana Arja.