Sabtu, 27 Juli 2024

Tahun Baru; Momentum Hijrah untuk Lestarikan Alam

Baca Juga

Beberapa hari lalu, tepatnya  Selasa, 1 Januari 2008 seluruh umat manusia di seluruh dunia merayakan datangnya tahun baru Masehi yang memasuki usia 2008. Beragam kegiatan dilakukan sebagai bentuk ekspresi kegembiraan dalam melepas dan menyambut datangnya tahun baru. Kita sejenak melupakan musibah bencana alam yang sedang menimpa diri dan saudara kita. Sekedar untuk menghibur diri, kita meluapkan kegembiraan dengan meniup trompet, menyalakan kembang api, berpesta dengan live musik dan berbagai ekspresi kegembiraan lainnya.

 

Beberapa hari ke depan, umat Islam di seluruh dunia juga merayakan dan menyambut datangnya tahun baru Hijriyah yang jatuh bertepatan dengan 10 Januari 2008. Dalam merayakan datangnya tahun baru Hijriyah 1 Muharram 1429, umat Islam biasanya mengadakan doa, istigatsah dan renungan bersama dalam bentuk tabligh, dzikir dan lain sebagainya bertempat di masjid, mushalla, lapangan dan tempat-tempat lainnya. Umat Islam di ajak untuk bermuhasabah dengan bercermin pada peristiwa tahun sebelumnya untuk diperbaiki di tahun mendatang. Dalam konteks ini umat Islam Indonesia juga harus merenungkan kembali beberapa peringatan Tuhan dalam bentuk bencana alam seperti banjir, longsor, air laut pasang, angin puting beliung dan lain sebagainya.

Sebagaimana diketahui, di penutup tahun 2007 Masehi dan tahun 1428 Hijriyah ini, bangsa Indonesia harus menerima cobaan pahit akibat bencana alam yang hampir menimpa seluruh pelosok negeri. Bencana datang silih berganti dan terjadi baik di darat maupun di laut dengan beragam bentuknya seperti kecelakaan pesawat, angin puting beliung, sampai bencana banjir yang hampir menenggelamkan kepulauan nusantara. Di sisi lain bencana longsor juga mengancam masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah perbukitan seperti yang terjadi di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah dan beberapa daerah lain di Indonesia.

Akibat bencana ini ratusan nyawa melayang dan ribuan manusia kehilangan harta bendanya. Mereka juga tersingkir dari kehidupan sosial yang selama ini dijalaninya karena mengungsi atau pindah tempat tinggal. Beberapa media baik cetak maupun elektronik menyebutkan, korban tewas akibat banjir dan longsor yang menimpa Jawa Tengah dan Jawa Timur yang terjadi belakangan ini, mencapai 100 orang lebih. Bila dikalkulasikan dengan beberapa daerah lain yang juga terkena bencana alam, maka jumlah itu akan semakin bertambah.

Banjir dan longsor, pada tahun-tahun belakangan ini, seakan menjadi fenomena yang biasa bagi bangsa Indonesia ketika menghadapi musim hujan. Bagi mereka yang tinggal di dataran rendah, ketika musim hujan tiba, bersiaplah menghadapi banjir. Sementara bagi mereka yang tinggal di lereng bukit, maka bersiaplah menghadapi bahaya longsor yang sewaktu-waktu menimpanya. Peristiwa ini seakan menjadi rutinitas dan agenda tahunan yang entah kapan akan berakhir. Terutama bagi mereka yang tinggal di pinggiran sungai, maka peristiwa banjir sudah menjadi bagian dari kehidupan.

Peristiwa alam, biasanya terjadi bukan tanpa sebab. Meski tidak semuanya benar, namun hukum kausalitas, sering digunakan dalam memahami persoalan yang terjadi di dunia. Akibat hutan yang terus ditebang tanpa ada penanaman kembali, maka banjir dan longsor terjadi dan menimpa daerah sekitarnya. Bahkan akibat yang lebih parah adalah apa yang disebut dengan global warming (pemanasan global). Sebuah dampak yang luar bisa dan terjadi diseluruh dunia.

Pemanasan global memang terjadi bukan hanya karena penggundulan hutan saja, namun juga banyak penyebab lainnya. Namun dampak yang lebih nyata dari pemanasan global adalah akibat sudah ‘sangat sedikit’ persediaan hutan sebagai area yang menyerap Co2 dan menghasilkan O2. Di sisi lain pabrik-pabrik, rumah kaca dan kendaraan yang menghasilkan Co2 terus meningkat dari tahun ke tahun sementara hutan atau pohon sebagai penyerap Co2 semakin jarang. Kalaupun ada, sudah sangat sedikit jumlahnya itupun dalam proses menuju kepunahan akibat penebangan tanpa batas. Padahal sebuah pohon tidak hanya mampu menyerap air, tetapi juga menjadi paru-paru bumi yang membersihkan udara yang kotor akibat polusi kendaraan dan pabrik.

Tahun baru, baik Masehi maupun Hijriyah, hendaknya dijadikan sebagai kesempatan untuk melakukan perbaikan dalam menata alam. Sehingga alam dan isinya yang merupakan warisan untuk anak cucu, masih bisa dinikmati oleh mereka. Karena alam dan isinya ini diciptakan bukan hanya untuk dan masa kita, namun Allah SWT menciptakannya untuk kepentingan semua orang dan semua makhluk yang ada di muka bumi ini. Muslim maupun non-muslim, manusia, laki-laki maupun perempuan, hewan atau tumbuh-tumbuhan, semua memiliki hak sama untuk memperoleh dan menikmati rahmat Allah termasuk dalam mengelola dan memanfaatkan bumi ini mereka tidak boleh merusak, menghancurkan atau melenyapkan tanpa ada alasan atau kepentingan yang lebih besar.

Tahun baru Hijrah memberi inspirasi serta dimaknai sebagai perpindahan atau perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Demikian juga dalam menata dan melestarikan alam, bisa dimaknai dengan merubah konsep dan perundangan yang melegalkan penebangan hutan tanpa batas. Di saat kondisi alam yang sudah semakin parah dan langka, maka keberadaan hutan sebagai penyerap air dan penyanggah alam dari bahaya banjir dan longsor menjadi sangat penting dan utama. Islam yang rahmat bagi semesta, memiliki tanggung jawab bagi kehidupan manusia. Dalam konteks ini umat Islam bisa meneladani konsep Nabi SAW dalam melestarikan alam, di mana beliau mengharamkan ‘pencabutan rumput atau pohon’ di tanah Haram. Konsep ini memiliki arti luas dan mendalam terkait dengan keberlangsungan kehidupan umat manusia.

Dalam keadaan seperti sekarang, sebuah pohon memiliki fungsi dan manfaat yang sangat besar. Oleh karena itu menebangnya dengan tanpa alasan yang jelas, merupakan perbuatan kezhaliman nyata yang berdampak besar dan sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan manusia. Yang harus dilakukan sekarang adalah penanaman pohon sebanyak mungkin, bukan pencabutan dan penebangan pohon. Inilah yang menjadi salah satu perintah Allah SWT kepada manusia sebagai khalifah di bumi. Mereka diciptakan untuk memakmurkan dan melestarikan, bukan sebaliknya.

Beberapa teks hadits juga memberikan apresiasi kepada mereka yang suka menanam pohon, tanaman atau sayuran. Anas bin Malik ra berkata: bahwa Nabi Saw bersabda: “Tidak sekali-kali seorang muslim menanam pohon, atau bercocok tanam, kemudian dari hasilnya dimakan oleh burung, manusia, atau binatang ternak, kecuali orang tersebut akan memperoleh pahala shadaqah” (HR. Bukhori).

Di samping itu agar terhindar dari banjir, maka pola hidup seenaknya juga harus dirubah. Selama ini masyarakat seenaknya sendiri membuang sampah sembarangan bahkan disengaja membuang ke aliran sungai. Sehingga ketika hujan tiba, saluran air tersumbat yang berakibat banjir. Oleh karena itu agar terhindar dari bencana alam, kita harus secepatnya berhijrah ke perilaku dan pola hidup yang lebih baik dalam melestarikan dan menjaga alam. Karena jika tidak, maka bersiaplah, kita akan menjadi korban yang pertama. Walaahu a’lam bi ash-shawab.[]


Penulis adalah
Pengasuh Pondok Pesantren al-Mizan Ciborelang Manjalengka

(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. VII ed. 01 – tanggal 04 Januari 2008) 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya